Saturday, November 14, 2015

Bertemu Sitta Karina (lagi)

Kemarin saya bertemu kembali dengan Lukisan Hujan. Sebuah novel remaja dengan tokoh keluarga Hanafiah karya Sitta Karina, penulis idola pertama saya sewaktu duduk di bangku SMP. Time flies, huh? Ingat saat-saat itu saya dengan exictednya menghadiri kelas-kelas menulis Mbak Sitta. Bahkan ada satu waktu di mana ia membaca sinopsis novel yang ingin saya karang dan mengatakan "Sudah bagus. Saya tunggu novelnya." Ya kurang lebih begitu intinya. Namun, sampai saat ini mimpi saya merangkai novel fiksi masih berupa mimpi, khayalan, impian. Rasanya kemampuan menulis ini mulai kabur, but deep down I can't deny how I love writing. I could put the most bitter and sweetest moment that could happen into flowery words. Saya rindu menulis. Saking rindunya justru tidak tau harus mulai dari mana. Semoga Diaz dan Sisi bisa membawa kembali imaji saya untuk merangkai kata, menciptakan dunia yang berbeda. 

Wednesday, October 14, 2015

Permintaan Sang Sesak

Ada yang pernah bilang bahwa sesak adalah ruang terbesar untuk berkarya. Memang ada benarnya. Rangkaian kata mengalir begitu cepatnya saat rasa sesak mulai melumat dada. Rasa sesak yang dirasa sekarang adalah rasa yang beda dari biasanya. Orang bilang mungkin ini suka, belum cinta kok jadi tenang saja. Gila rasanya membayangkan kembali saya menulis tentang hal yang bersinggungan dengan cinta yang saya pikir saya rasa. Anggap saja akhirnya dia benar-benar menampakan dirinya di depan mata saya tapi yasudah begitu saja. Kalau boleh mengutip Dee Lestari dari novel Rectoverso, kurang lebih ini frasa yang tepat untuk menggambarkan keadaan saya.

"Aku sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang cuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan kumiliki keutuhannya. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan, atau hujan. Seseorang yang selamanya harus dibiarkan berupa sebentuk punggung karena kalau sampai ia berbalik niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa"

Di saat seperti ini tentu menulis akan menjadi pelarian saya, lalu distraksi akan menjadi agenda selanjutnya. Mudah-mudahan teman-teman saya tidak ada yang iseng membuka blog saya dan kedapatan membaca. Yang ada mereka akan tertawa, kenapa saya jadi sebegitunya. It might surprise them, just like I surprised myself. Semoga sesak ini cepat hilang karena sudah dituruti permintaannya untuk dibentuk menjadi rangkaian kata. Selamat malam.

Wednesday, June 3, 2015

Amateur

Picture source: https://oliveloafdesign.files.wordpress.com/2015/01/amateur-austin-kleon.jpg

I want to make something. Something big, inspiring, and impactful. Its a will that has been echoing inside my mind since I am inspired by Alanda Kariza who successfully initiated Indonesia Youth Conference at a such young age. My will is followed by these questions: "Am I capable to do something big?" ; "You're not even brilliant at class" ; "Are you persistence enough to do it?". Let me answer the last question: yes, as a Taurean I believe that I am persistence enough. The first two questions have been a bother for me to take steps towards my will, but then Austin Kleon came with an answer through his book Show Your Work! 

"Be an amateur." All this time, I thought an amateur is a person who has not specialized a particular skill. Just yesterday I knew what the word is really meant, and again credit goes to Kleon. The word is borrowed from French in the 18th century, and ultimately from Latin amator 'lover', it was originally used to describe a person who loves or is fond of something (Oxford Dictionaries). You, and I don't need to be an ace in order to make something. We just to love it! I just need to put all my love, and hard work of course to realizing my dreams; dreams I love to make it happen.

If you ever asked yourself 'who you are to make something, to do something'; you are not the only one. I did ask that question to myself several times. I used to not knowing the answer, but now I know. I am an amateur and an amateur does not wait to start making stuff. Kleon also said, "Forget about being an expert or a professional, and wear your amateurism (your heart, your love) on your sleeve. Share what you love, and the people who love the same things will find you." 

All inspiring words Kleon wrote on his book did give me answers for doubtful questions flying inside my head. I don't even know how to deliver how I stunned I am because of his book. It made me realize that sometimes we only make things up to give up to start making stuff. I did try it not only once, but what I am trying now is run towards it instead of run from it. Just go for something I, you, we, want to do. Being an amateur is not something we should be ashamed of.

I am an amateur and I am proud.
I wish we could meet halfway or somewhere on the way.




Sunday, May 17, 2015

Dia

Akhir-akhir ini saya semakin merasa bersalah jika tidak meluangkan waktu untuk membaca atau menulis. Pikiran ini terus berbisik, "Tulis apa saja. Satu dua paragraf. Tak masalah." Dulu setiap saya hilang dari dunia nyata di sela perjalanan dari Jakarta ke Jatinangor atau di bawah hangatnya air panas saat mandi, selalu terbersit frasa-frasa yang entah datangnya dari mana. Saya ingat pernah mencatat beberapa frasa itu di dalam handphone. Jadilah saya mencari catatan itu dan menuliskannya di sini. Catatan singkat yang saya pilih kali ini berbicara tentang cinta, kira-kira hampir dua tahun lalu lamanya.  
Inilah "Dia" yang sempat meminjamkan cinta pada saya.
"Sekarang kamu sudah tidak mengerti apa itu cinta.  Karena cintamu adalah dia. Dia yang ada untuk berbagi segalanya. Tak peduli seberapa panjang kamu bercerita, tak pernah sekalipun dia menyela. Karena bagi dia kaulah bahagia. Namun, kini dia menghilang, melupakanmu dengan mudahnya. Tak ada lagi tegur sapa. Apalagi canda tawa. Yang ada hanya air di pelupuk mata dan sesak yang memeluk dada setiap mendengar namanya.
Dia adalah cinta.
Yang berbalik pergi tanpa menoleh dan bertanya,
"Apakah kamu akan baik-baik saja?" 
Siapa yang sangka saya bisa semelankolis itu saat 'merasa' bertemu dengan cinta?
Siapa tahu itu hanya afeksi belaka?





Tapi,
apapun sebutannya,
saya bahagia,
karena rasa itu bisa membuat saya merangkai kata.

Monday, April 20, 2015

Fiksi

Pikiran yang dipenuhi oleh imaji membuat saya menulis fiksi pertama kali hampir 12 tahun lalu. Sejak saat itu imaji saya semakin menjadi-jadi ingin rasanya terus menulis meskipun tak tahu hasilnya bagaimana. Yang penting saya berhasil menuangkan karakter ciptaan saya begitu pula konflik beserta resolusinya. Cerita pertama saya terinspirasi dari anjing teman saya yang hilang kala itu. Nama karakternya pun saya ambil dari teman-teman kakak saya yang kebetulan sedang main ke rumah saat saya asik menulis dengan pensil di sebuah buku berlabel Sinar Dunia. Buku itu kemudian dipenuhi oleh coretan cerita yang memiliki akhir atau sekedar coretan ide belaka. 

Masuk ke bangku SMP rupanya saya belum mau melepaskan diri dari kata dan cerita yang penuh dengan imaji itu. Saya pun mendapatkan kesempatan untuk mengasah kemampuan menulis fiksi saya melalui Coaching Cerpen KaWanku tahun 2009. Penulis-penulis ternama seperti Sitta Karina dan Clara Ng serta dampingan penulis-penulis majalah KaWanku berhasil membuat tulisan saya tertata sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan lebih memiliki jiwa. Merasa lebih percaya diri, jari-jari ini terus merangkai begitu banyak imaji dalam lembar-lembar kertas putih. Saya mencuri banyak kejadian disekitar saya yang diolah melalui imaji untuk memuaskan hati yang ingin terus menulis. Kala itu saya tidak peduli apakah tulisan saya bagus, apakah orang-orang akan menyukainya atau apakah alur ceritanya benar. Perasaan yang sama saat saya pertama kali menulis. 

Cerita terakhir saya yang dimuat di salah satu majalah adalah imaji yang berhasil mengambil alih pikiran saya saat pelajaran sejarah di tahun pertama SMA Saya yang sekarang sedang menulis ini saat ini sedang rindu perasaan itu. Saya yang sekarang masih dipenuhi begitu banyak imaji yang menanti untuk ditulis namun sampai saat ini imaji itu masih tertahan dalam pikiran. Beberapa bulan lalu saya sadar betapa saya merindukan menghasilkan sebuah cerita yang menuai kebahagiaan bagi saya. Beberapa bulan lalu saya berhasil menyelesaikan sebuah cerita fiksi. Sebuah cerita fiksi yang terus mengusik pikiran saya untuk dikembangkan lebih jauh. Mengusik keinginan saya sejak dulu untuk melihat nama saya berada di sela rak toko buku. 

Imaji.
Fiksi.
Haruskah kita bertemu lagi?

Friday, March 13, 2015

Sederhana

Sederhana.
Tanpa banyak kata, bicara, atau tingkah yang beragam macamnya.
Pernah ada yang berkata:
"Jalani hidup dengan sederhana", 
"Bahagia itu sederhana"
"Sederhana itu indah"
Ya, saya setuju kalau sederhana itu indah. Itulah sebabnya saya berusaha mencarinya, tapi rasanya percuma. Semakin jauh langkah pencarian saya, justru semakin jauh dari sederhana. Kini semua terlihat begitu absurd bentuknya, sulit untuk diterka. Apa yang akan ditunjukan hidup selanjutnya? Ah, entahlah. Saya hanya berharap bahwa itu akan lebih sederhana.

Friday, February 27, 2015

Sang Bahagia


Bagaimana anda tahu bahwa anda sedang merasa bahagia?
Saat hati saya berpendar disusul senyum yang tak kunjung pudar.

**


Beberapa jam lalu saya bertemu sang bahagia yang kali ini hadir dengan rupa lainnya. Begini rupanya: jumlahnya banyak, pakaiannya bernuansa merah, suaranya lantang dan matanya dikilati semangat. Pernah bertemu sang bahagia yang seperti itu? Kalau belum mari saya ceritakan bagaimana saya bertemu dengannya. Siapa tahu anda jadi ingin bertemu.

Saya seorang pemerhati tapi tak pernah sampai hati untuk terjun langsung melihat situasi. Ini kali pertama saya terjun ke aktivitas sosial di bidang pendidikan. Berawal dari ajakan teman, hari ini menjadi kali kedua saya masuk ke dalam sebuah ruang kelas di mana ada puluhan mata yang melihat ke arah saya dan dua teman saya seakan berkata “Mau apa ya kakak-kakak itu?”

Mau dibantu untuk membantu, mau ya, adalah jawaban dari mata saya yang berusaha berkata-kata. Saya di sini memang bertugas untuk melakukan survei pada anak-anak Sekolah Dasar yang duduk di bangku kelas lima dan enam. Survei dilakukan dengan membagikan kuisioner mengenai seberapa pentingnya pendidikan bagi mereka juga pendapat mereka tentang teman-teman yang putus sekolah. Anak-anak Sekolah Dasar tersebut terlihat serius mengerjakan kuisioner seperti soal ujian. Nanti jadi nggak pintar kalau nggak sekolah, tulis beberapa dari mereka. Setelah mengumpulkan kertas berisikan jawaban-jawaban dari anak-anak tersebut saya dan teman-teman membagikan permen sebelum pulang. Lalu bagian mana bahagianya? Sang bahagia tepat berada di antara cerita saya.

Sebelum melayangkan tanya dari mata mereka, sang bahagia menyambut saya saat masuk ke dalam kelas dengan salam yang sungguh luar biasa.

Sebelum menorehkan pensil dan menjawab pertanyaan yang tertera, sang bahagia mengacungkan jarinya bertanya apa maksud pertanyaannya? Apakah harus diisi semua? Semacam ujian saja.

Setelah memberikan kertas berisi jawabannya, sang bahagia berlomba-lomba untuk mendapatkan permen yang hanya sedikit jumlahnya.

Setelah menerima permen dan menikmatinya, sang bahagia berkata untuk mengabadikan momen ini dalam kamera.

Sang bahagia adalah mereka yang saya hadiri kelasnya di SD Kananga.

Sang bahagia sungguh sederhana tapi membuat saya ingin bercerita bagaimana menajubkan mereka.

Jadi bagaimana, ingin bertemu mereka?
Kalau ingin, mari saya antar.
Karena bagi mereka, kitalah sang bahagia.



SD Kananga, 27 February 2015




Monday, February 2, 2015

Mulai Ulang

Setelah tertawa dan geli sendiri melihat isi postingan blog ini dari lima tahun yang lalu tanpa berpikir panjang jari-jari ini langsung menghapus hampir setiap cerita yang pernah terurai di dalamnya.
Bukan berarti cerita tersebut tak berharga hanya saja tak tahan melihat kata-kata yang ditulis tak tertata (it annoys me, really). Baru-baru ini saya mulai menulis cerita fiksi lagi. Ternyata masih membawa perasaan yang sama. Menyenangkan.....dan menyebalkan. Mungkin akhirnya jari ini merindukan setiap gerakan yang menari seiring dengan imaji bukan setumpuk tugas tanpa henti. Saya berharap jari-jari ini akan tetap terus menari menuliskan kata hati dan imaji.

Mumpung masih terhitung tahun baru, mari kita (saya) mulai ulang.