Monday, April 20, 2015

Fiksi

Pikiran yang dipenuhi oleh imaji membuat saya menulis fiksi pertama kali hampir 12 tahun lalu. Sejak saat itu imaji saya semakin menjadi-jadi ingin rasanya terus menulis meskipun tak tahu hasilnya bagaimana. Yang penting saya berhasil menuangkan karakter ciptaan saya begitu pula konflik beserta resolusinya. Cerita pertama saya terinspirasi dari anjing teman saya yang hilang kala itu. Nama karakternya pun saya ambil dari teman-teman kakak saya yang kebetulan sedang main ke rumah saat saya asik menulis dengan pensil di sebuah buku berlabel Sinar Dunia. Buku itu kemudian dipenuhi oleh coretan cerita yang memiliki akhir atau sekedar coretan ide belaka. 

Masuk ke bangku SMP rupanya saya belum mau melepaskan diri dari kata dan cerita yang penuh dengan imaji itu. Saya pun mendapatkan kesempatan untuk mengasah kemampuan menulis fiksi saya melalui Coaching Cerpen KaWanku tahun 2009. Penulis-penulis ternama seperti Sitta Karina dan Clara Ng serta dampingan penulis-penulis majalah KaWanku berhasil membuat tulisan saya tertata sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan lebih memiliki jiwa. Merasa lebih percaya diri, jari-jari ini terus merangkai begitu banyak imaji dalam lembar-lembar kertas putih. Saya mencuri banyak kejadian disekitar saya yang diolah melalui imaji untuk memuaskan hati yang ingin terus menulis. Kala itu saya tidak peduli apakah tulisan saya bagus, apakah orang-orang akan menyukainya atau apakah alur ceritanya benar. Perasaan yang sama saat saya pertama kali menulis. 

Cerita terakhir saya yang dimuat di salah satu majalah adalah imaji yang berhasil mengambil alih pikiran saya saat pelajaran sejarah di tahun pertama SMA Saya yang sekarang sedang menulis ini saat ini sedang rindu perasaan itu. Saya yang sekarang masih dipenuhi begitu banyak imaji yang menanti untuk ditulis namun sampai saat ini imaji itu masih tertahan dalam pikiran. Beberapa bulan lalu saya sadar betapa saya merindukan menghasilkan sebuah cerita yang menuai kebahagiaan bagi saya. Beberapa bulan lalu saya berhasil menyelesaikan sebuah cerita fiksi. Sebuah cerita fiksi yang terus mengusik pikiran saya untuk dikembangkan lebih jauh. Mengusik keinginan saya sejak dulu untuk melihat nama saya berada di sela rak toko buku. 

Imaji.
Fiksi.
Haruskah kita bertemu lagi?

No comments:

Post a Comment